Siapa sih yang belum pernah dengar Tari Kecak? Semua pasti familiar dengan tarian Bali ini, begitu juga dengan saya. Namun, menonton pertunjukannya secara langsung di Uluwatu merupakan pengalaman pertama bagi saya. Bersama puluhan peserta Social Media Trip & Gathering dari Kementrian Pariwisata Indonesia dan ratusan wisatawan baik domestik maupun mancanegara, saya duduk menghabiskan senja menonton tarian yang semarak ini.
Pura Uluwatu nampak ramai dari kejauhan. Pengunjung asyik mengamati detail pura, menikmati paduan langit dan laut di latarnya, dan menambah koleksi gambar di galeri kameranya. Sedang saya, terus saja melewati pura ke arah selatan sepertinya. Di ujung jalan terlihat keramaian, semacam stadion kecil dengan dua penjaga sibuk merobek tiket. Saya cari tiket yang tadi guide rombongan berikan. Sebentar saya sodorkan, masuklah saya mencari tempat duduk. Saat itu deretan penonton sudah hampir sesak. Langsung saja saya mencari celah di barisan bagian depan.
Pukul enam sore tepat, langit masih biru kekuningan, seorang pemimpin doa melangsungkan ritualnya sebelum tarian dimulai. Dupa dan sesaji telah siap di tangannya untuk mendampingi doanya di perapian. Lalu puluhan laki laki bercelana hitam tertutup sarung kotak-kotak, bertelanjang dada dengan bunga sepatu merah tersemat di telinga memasuki arena. Puluhan laki-laki beragam usia dari dewasa, remaja bahkan anak kecil ini kemudian segera memenuhi suasana dengan ramai suara “cak cak”. Tari Kecak dikenal sangat unik karena tidak menggunakan alat musik apapun karena iringan sepanjang tari berlangsung berasal dari paduan suara puluhan laki-laki tadi.
Tarian pun dimulai. Para penari laki-laki memulai gerakan-gerakan enerjiknya lalu membentuk tiga lapis lingkaran mengitari perapian. Tokoh Rama dan Sinta kemudian menyita perhatian penonton. Dengan luwesnya kedua penari itu menggambarkan gelora asmaranya. Lalu datanglah Kijang Emas, utusan Dewi Kakayi (Ibu tiri Rama), membawa pergi Rama ke pengangsingan. Sedang Sinta ditinggalkan bersama seorang Laksamana dengan pesan agar Sinta tidak pergi kemanapun. Benar saja, dengan penjagaan dan pesan tersebut, Rahwana gagal saat hendak menculik Sinta.
Rahwana tak kehabisan akal. Menjelmalah ia menjadi seorang Bhagawan atau sosok orang tua berambut dan berpakaian putih. Si Bhagawan berlagak kehausan dan meminta air pada Sinta. Sinta pun merasa iba dan melewati batas penjagaan untuk mengambilkan air. Setelah Sinta keluar, Bhagawan alias Rahwana membawanya pergi ke Alengka Pura. Sinta memberontak dan berteriak minta tolong. Teriakannya kemudian didengar oleh Burung Garuda besar berwarna hijau kuning emas. Sang Garuda bertarung melawan Rahwana untuk menolong Sinta. Namun sayang Garuda kalah dalam pertempuran dengan sebelah sayap tertebas.
Di lain situasi, digambarkan adalah Hutan Ayodnya, Rama sedang tersesat bersama Twalen, karakter mirip Semar dan Truna Laksamana, abdinya. Rama kemudian teringat akan istrinya yang diculik Rahwana. Lalu mengutus Hanoman Si Kera Putih untuk menyelamatkan Sinta. Agar nanti Sinta percaya, Rama membekali Hanoman dengan sebuah cincin.
Langit mulai memerah saat Hanoman datang ke Alengka Pura. Dengan tingkahnya yang usil, disapanya penonton. Pemeran Hanoman dengan lincah memanjat gapura dan berlompatan ke arah penonton. Hanoman beradu tawa dengan penonton berpura mencari kutu di rambut penonton. Tak mau melewatkan kesempatan, para penonton mengeluarkan smartphonenya sambil selfie dengan Hanoman. Tak lama seorang berbadan cukup besar dengan wajah merah berjalan ke tengah arena. Iapun menyapa penonton dengan canda tawa sebagai intermezzo.
Tanpa disadari langit mulai gelap dan suasana seketika dramatis. Si Pria Merah dan dua abdi Alengka Pura yang buruk rupa kemudian menyadari kehadiran Hanoman. Adegan pertempuran lalu menghipnotis penonton. Tak hanya adu kelahi, para abdi Alengka Pura beratraksi dengan api yang ceritanya untuk membakar Hanoman. Hanoman Si Kera Putih lalu menunjukkan kesaktiannya. Ia bangun dengan tegapnya melawan musuh, mengalahkan anak buah Rahwana. Pada akhirnya, Hanoman berhasil menyelamatkan Sinta dan Rama Sinta lalu bersatu kembali. Penonton lalu bertepuk tangan dengan puasnya setelah menonton pertunjukan tadi. Para penari keluar dari peraduan mengundang penonton turun ke arena untuk foto bersama.
Tak dielakkan suguhan tadi merupakan pertunjukkan yang sangat sayang untuk dilewatkan jika datang ke Uluwatu. Pemandangan tebing berdampingan dengan laut dan matahari yang merangkak turun, menyempurnakan Tarian Kecak yang dibawakan oleh Sanggar Tari dan Tabuh Karang Boma Desa Pecatu. Tidak lengkap rasanya jika bertandang ke Uluwatu tanpa menyaksikan wujud seni budaya Tari Kecak ini. Karena keragaman alam dan budaya merupakan salah satu Pesona Indonesia yang patut kita banggakan.
Jika Anda ingin bertandang ke Uluwatu tanpa melewatkan pertunjukan Tari Kecak, datanglah sebelum pukul enam agar dapat memilih tempat duduk. Pilihlah bagian yang menghadap laut agar dapat menonton tarian dengan latar matahari terbenam. Untuk tiketnya, penonton perlu membayar sejumlah 100.000 rupiah.
Explore Bali dalam kesempatan Social Media Trip & Gathering bersama Kementrian Pariwisata Indonesia (www.indonesia.travel)
Untuk menemukan cuplikan perjalanan kami, silakan kunjungi Instagram & Twitter dengan tagar #PesonaIndonesia dan #SaptaNusantara